Jumat, 23 Maret 2012

askep bph

Asuhan keperawatan Bph

Pengertian Benigne Prostat Hyperplasia
Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab/UPF Ilmu Bedah RSUD Dr Soetomo, 1994 : 193).
Etiologi/Penyebabnya
Penyebab yang pasti dari terjadinya Benigne Prostat Hyperplasia sampai sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya Benigne Prostat Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut.

Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya Benigne Prostat Hyperplasia antara lain :
1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostatmengalami hiperplasia.
2. Ketidak seimbangan estrogen – testoteron
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma.
3. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.
4. Penurunan sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem cell
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
(Roger Kirby, 1994 : 38).
Anatomi Dan Fisiologi Prostat
Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi / mengitari uretra posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri atau jeruk nipis. Ukuran, panjangnya sekitar 4 – 6 cm, lebar 3 – 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 – 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram.
Prostat terdiri dari :
· Jaringan Kelenjar 50 – 70 %
Jaringan Stroma (penyangga) & Kapsul/Musculer 30 – 50 %
· Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym yang berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar melalui uretra. Sel – sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui uretra. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10 – 30 % dari ejakulasi. Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah keradangan (prostatitis). Kelainan yang lain sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik jinak maupun ganas, tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperanan pada terjadinya gangguan aliran kencing. Kelainanyang disebut belakangan ini manifestasinya biasanya pada laki-laki usia lanjut.
Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS (Basuki, 2000 : 76).
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi urine.Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal (Sunaryo, H. 1999 : 11)
Patofisiologi
klik untuk perbesar gambar
clip_image002
 
clip_image002[7]
Gejala Benigne Prostat Hyperplasia
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
Derajat Benigne Prostat Hyperplasia
Benigne Prostat Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya :
1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya + 20 – 40 gram.
3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.
4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis.
Pengkajian
Riwayat Keperawatan
· Suspect BPH ® umur > 60 tahun
· Pola urinari : frekuensi, nocturia, disuria.
· Gejala obstruksi leher buli-buli : prostatisme (Hesitansi, pancaran, melemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa) Jika frekuensi dan noctoria tak disertai gejala pembatasan aliran non Obstruktive seperti infeksi.
· BPH ® hematuri
1. Pemeriksaan Fisik
· Perhatian khusus pada abdomen ; Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.
· Distensi kandung kemih
· Inspeksi : Penonjolan pada daerah supra pubik ® retensi urine
· Palpasi : Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan pasien ingin buang air kecil ® retensi urine
· Perkusi : Redup ® residual urine
· Pemeriksaan penis : uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.
· Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) ® posisi knee chest
Syarat : buli-buli kosong/dikosongkan
Tujuan : Menentukan konsistensi prostat
Menentukan besar prostat
2. Pemeriksaan Radiologi
Pada Pemeriksaan Radiologi ditujukan untuk
a. Menentukan volume Benigne Prostat Hyperplasia
b. Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine
c. Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan dengan Benigne Prostat Hyperplasia atau tidak
Beberapa Pemeriksaan Radiologi
a. Intra Vena Pyelografi ( IVP ) : Gambaran trabekulasi buli, residual urine post miksi, dipertikel buli.
Indikasi : disertai hematuria, gejala iritatif menonjol disertai urolithiasis
Tanda BPH : Impresi prostat, hockey stick ureter
b. BOF : Untuk mengetahui adanya kelainan pada renal
c. Retrografi dan Voiding Cystouretrografi : untuk melihat ada tidaknya refluk vesiko ureter/striktur uretra.
d. USG : Untuk menentukan volume urine, volume residual urine dan menilai pembesaran prostat jinak/ganas
3. Pemeriksaan Endoskopi.

4. Pemeriksaan Uroflowmetri
Berperan penting dalam diagnosa dan evaluasi klien dengan obstruksi leher buli-buli
Q max : > 15 ml/detik ® non obstruksi
10 – 15 ml/detik ® border line
< 10 ml/detik ® obstruktif
5. Pemeriksaan Laborat
· Urinalisis (test glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT, Elektrolit, Na,/K, Protein/Albumin, pH dan Urine Kultur)
Jika infeksi:pH urine alkalin, spesimen terhadap Sel Darah Putih, Sel Darah Merah atau PUS.
· RFT ® evaluasi fungsi renal
· Serum Acid Phosphatase ® Prostat Malignancy
Diagnosa Keperawatan Pre Operasi
1. Gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi (retensio urine) baik akut maupun kronis berhubungan dengan obstruksi akibat pembesaran prostat/dekompresi otot detrussor ditandai dengan urine menetes, sering buang air kecil, buang air kecil sedikit-sedikit tidak bisa mengosongkan kandung kencing secara total, distensi kandung kencing.
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan iritasi mukosa/distensi kandung kencing/kolik renal/infeksi saluran kencing ditandai dengan keluhan nyeri spasme kandung kemih, perubahan tonus otot, merintih kesakitan.
3. Cemas berhubungan dengan rencana pembedahan dan kehilangan status kesehatan serta penurunan kemampuan sexual ditandai dengan peningkatan tensi, ungkapan rasa takut
4. Dysfungsi sexual berhubungan dengan obstrusi perkemihan.
5. Kurang pengetahuan tentang sifat penyakit, tujuan tindakan yang diprogramkan dan pemeriksaan diagnostik berhubungan dengan kurangnya informasi /terbatasnya informasi/informasi yang keliru ditandai dengan pasien sering bertanya, perintah yang tidak dituruti dan perkembangan infeksi tidak dapat dicegah.
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sering miksi pada malam hari
7. Resiko injury dan resiko infeksi berhubungan dengan obstruksi perkemihan
8. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan Dower Cateter yang lama
Diagnosa Keperawatan Post Operasi
1. Terjadinya perdarahan berhubungan dengan tindakan bedah (reseksi).
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan akibat reseksi
3. Cemas berhubungan dengan proses penyakitnya yang masih dapat kambuh lagi.
4. Resiko terjadinya retensi urine berhubungan dengan obstruksi saluran kateter oleh bekuan darah/klot.
5. Resiko terjadinya kelebihan cairan dalam tubuh (Syndroma TUR) berhubungan dengan adanya penyerapan cairan irigasi yang berlebihan.
Perencanaan/Penatalaksanaan
Tujuan: klien tidak akan mengalami berbagai komplikasi dari pengobatan retensi Urine.
Intervensi:
A Non Pembedahan
1. Memperkecil gejala obstruksi ® hal-hal yang menyebabkan pelepasan cairan prostat.

1) Prostatic massage
2) Frekuensi coitus meningkat
3) Masturbasi
2. Menghindari minum banyak dalam waktu singkat, menghindari alkohol dan diuretic mencegah oven distensi kandung kemih akibat tonus otot detrussor menurun.
3. Menghindari obat-obat penyebab retensi urine seperti : anticholinergic, anti histamin, decongestan.
4. Observasi Watchfull Waiting
Yaitu pengawasan berkala/follow – up tiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien
Indikasi : BPH dengan IPPS Ringan
Baseline data normal
Flowmetri non obstruksi
5. Terapi medikamentosa pada Benigne Prostat Hyperplasia
Terapi ini diindikasikan pada Benigne Prostat Hyperplasia dengan keluhan ringan, sedang dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi pembedahan, tetapi masih terdapat kontra indikasi atau belum “well motivated”. Obat yang digunakan berasal dari Fitoterapi, Golongan Supressor Androgen dan Golongan Alfa Bloker.
a. Fito Terapi
a) Hypoxis rosperi (rumput)
b) Serenoa repens (palem)
c) Curcubita pepo (waluh )
b. Pemberian obat Golongan Supressor Androgen/anti androgen :
a) Inhibitor 5 alfa reduktase
b) Anti androgen
c) Analog LHRH
c. Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun tekanan diuretra-prostatika : Prazosin, Alfulosin, Doxazonsin, Terazosin
6. Bila terjadi retensi urine
a. Kateterisasi ® Intermiten
Indwelling
b. Dilakukan pungsi blass
c. Dilakukan cystostomy
7. Prostetron (Trans Uretral Microwave Thermoterapy/TUMT)
B. Pembedahan
1. Trans Uretral Reseksi Prostat : 90 – 95 %
2. Open Prostatectomy : 5 – 10 %
BPH yang besar (50 – 100 gram) ® Tidak habis direseksi dalam 1 jam.
Disertai Batu Buli Buli Besar (>2,5cm), multiple. Fasilitas TUR tak ada.
Mortalitas Pembedahan BPH
0 – 1 % KAUSA : Infark Miokatd
Septikemia dengan Syok
Perdarahan Massive
Kepuasan Klien : 66 – 95 %
Indikasi Pembedahan BPH
ü Retensi urine akut
ü Retensi urine kronis
ü Residual urine lebih dari 100 ml
ü BPH dengan penyulit
v Hydroneprosis
v Terbentuknya Batu Buli
v Infeksi Saluran Kencing Berulang
v Hematuri berat/berulang
v Hernia/hemoroid
v Menurunnya Kualitas Hidup
v Retensio Urine
v Gangguan Fungsi Ginjal
ü Terapi medikamentosa tak berhasil
ü Sindroma prostatisme yang progresif
ü Flow metri yang menunjukkan pola obstruktif
v Flow. Max kurang dari 10 ml
v Kurve berbentuk datar
v Waktu miksi memanjang
Kontra Indikasi
· IMA
· CVA akut
Tujuan :
· Mengurangi gejala yang disertai dengan obstruksi leher buli-buli
· Memperbaiki kualitas hidup
1) Trans Uretral Reseksi Prostat ® 90 – 95 %
Dilakukan bila pembesaran pada lobus medial.
Keuntungan :
· Lebih aman pada klien yang mengalami resiko tinggi pembedahan
· Tak perlu insisi pembedahan
· Hospitalisasi dan penyebuhan pendek
Kerugian :
· Jaringan prostat dapat tumbuh kembali
· Kemungkinan trauma urethra ® strictura urethra.
2) Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
® Prostat terlalu besar tetapi tak ada masalah kandung kemih
3) Perianal Prostatectomy
ü Pembesaran prostat disertai batu buli-buli
ü Mengobati abces prostat yang tak respon terhadap terapi conservatif
ü Memperbaiki komplikasi : laserasi kapsul prostat
4) Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy

PRE OPERATIF CARE
Mengkaji kecemasan klien, mengoreksi miskonsepsi tentang pembedahan dan memberikan informasi yang akurat pada klien
· Type pembedahan
· Jenis anesthesi ® TUR – P, general / spina anesthesi
· Cateter : folly cateter, Continuous Bladder Irigation (CBI).
Persiapan orerasi lainnya yaitu :
· Pemeriksaan lab. Lengkap : DL, UL, RFT, LFT, pH, Gula darah, Elektrolit
· Pemeriksaan EKG
· Pemeriksaan Radiologi : BOF, IVP, USG, APG.
· Pemeriksaan Uroflowmetri ® Bagi penderita yang tidak memakai kateter.
· Pemasangan infus dan puasa
· Pencukuran rambut pubis dan lavemen.
· Pemberian Anti Biotik
· Surat Persetujuan Operasi (Informed Concern).
POST OPERATIF CARE
Post operatif care pada dasarnya sama seperti pasien lainnya yaitu monitoring terhadap respirasi, sirkulasi dan kesadaran pasien :
1. Airway : Bebaskan jalan fafas
Posisi kepala ekstensi
Breathing : Memberikan O2 sesuai dengan kebutuhan
Observasi pernafasan
Cirkulasi : mengukur tensi, nadi, suhu tubuh, pernafasan, kesadaran dan produksi urine pada fase awal (6jam) paska operasi harus dimonitor setiap jam dan harus dicatat.
Bila pada fase awal stabil, monitor/interval bisa 3 jam sekali
Bila tensi turun, nadi meningkat (kecil), produksi urine merah pekat harus waspada terjadinya perdarahan ® segera cek Hb dan lapor dokter.
Tensi meningkat dan nadi menurun (bradikardi), kadar natrium menurun, gelisah atau delir harus waspada terjadinya syndroma TUR ® segera lapor dokter.
Bila produksi urine tidak keluar (menurun) dicari penyebabnya apakah kateter buntu oleh bekuan darah ® terjadi retensi urine dalam buli-buli ® lapor dokter, spoling dengan PZ tetesan tergantung dari warna urine yang keluar dari Urobag. Bila urine sudah jernih tetesan spoling hanya maintennens/dilepas dan bila produksi urine masih merah spoling diteruskan sampai urine jernih.
Bila perlu Analisa Gas Darah
Apakah terjadi kepucatan, kebiruan.
Cek lab : Hb, RFT, Na/K dan kultur urine.
2. Pemberian Anti Biotika
ü Antibiotika profilaksis, diberikan bila hasil kultur urine sebelum operasi steril. Antibiotik hanya diberikan 1 X pre operasi + 3 – 4 jam sebelum operasi.
ü Antibiotik terapeutik, diberikanpada pasien memakai dower kateter dari hasil kultur urine positif. Lama pemberian + 2 minggu, mula-mula diberikan parenteral diteruskan peroral. Setiap melepas kateter harus diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah septicemia.
3. Perawatan Kateter
Kateter uretra yang dipasang pada pasca operasi prostat yaitu folley kateter 3 lubang (treeway catheter) ukuran 24 Fr.
Ketiga lubang tersebut gunanya :
1. untuk mengisibalon, antara 30 – 40 ml cairan
2. untuk melakukan irigasi/spoling
3. untuk keluarnya cairan (urine dan cairan spoling).
Setelah 6 jam pertama sampai 24 jam kateter tadi biasanya ditraksi dengan merekatkan ke salah satu paha pasien dengan tarikan berat beban antara 2 – 5 kg. Paha ini tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
Paling lambat pagi harinya traksi harus dilepas dan fiksasi kateter dipindahkan ke paha bagian proximal/ke arah inguinal agar tidak terjadi penekanan pada uretra bagian penosskrotal. Guna dari traksi adalah untuk mencegah perdarahan dari prostat yang diambil mengalir di dalam buli-buli, membeku dan menyumbat pada kateter.
Bila terlambat melepas kateter traksi, dikemudian hari terjadi stenosis leher buli-buli karena mengalami ischemia.
Tujuan pemberian spoling/irigasi :
1. Agar jalannya cairan dalam kateter tetap lancar.
2. Mencegah pembuntuan karena bekuan darah menyumbat kateter
3. Cairan yang digunakan spoling H2O / PZ
Kecepatan irigasi tergantung dari warna urine, bila urine merah spoling dipercepat dan warna urine harus sering dilihat. Mobilisasi duduk dan berjalan urine tetap jernih, maka spoling dapat dihentikan dan pipa spoling dilepas.
Kateter dilepas pada hari kelima. Setelah kateter dilepas maka harus diperhatikan miksi penderita. Bisa atau tudak, bila bisa berapa jumlahnya harus diukur dan dicatat atau dilakukan uroflowmetri.
Sebab-sebab terjadinya retensio urine lagi setelah kateter dilepas :
1. Terbentuknya bekuan darah
2. Pengerokan prostat kurang bersih (pada TUR) sehingga masih terdapat obstruksi.
A. TUR – P
Setelah TUR – P klien dipasang tree way folley cateter dengan retensi balon 30 – 40 ml. Kateter di tarik untuk membantu hemostasis
Intruksikan klien untuk tidak mencoba mengosongkan bladder Otot bladder kontraksi ® nyeri spasme
CBI (Continuous Bladder Irigation) dengan normal salin ® mencegah obstruksi atau komplikasi lain CBI – P. Folley cateter diangkat 2 – 3 hari berikutnya
Ketika kateter diangkat timbul keluhan : frekuensi, dribbling, kebocoran ® normal
Post TUR – P : urine bercampur bekuan darah, tissue debris ® meningkat ® intake cairan minimal 3000 ml/hari ® membantu menurunkan disuria dan menjaga urine tetap jernih.
B. OPEN PROSTATECTOMY
Resiko post operative bleeding pada 24 jam pertama oleh karena bladder spsme atau pergerakan
Monitor out put urine tiap 2 jam dan tanda vital tiap 4 jam
Arterial bleeding ® urine kemerahan (saos) + clotting
Venous bleeding ® urine seperti anggur ® traction kateter
Vetropubic prostatectomy
Observasi : drainage purulent, demam, nyeri meningkat ® deep wound infection, pelvic abcess
Suprapubic prostatectomy
ü Perlu Continuous Bladder Irigation via suprapubic ® klien diinstruksikan tetap tidur sampai Continuous Bladder Irigation dihentikan
ü Kateter uretra diangkat hari 3 – 4 post op
ü Setelah kateter diangkat, kateter supra pubic di clamp dan klien disuruh miksi dan dicek residual urine, jika residual urine ± 75 ml, kateter diangkat
EVALUASI
Kreteria yang diharapkan terhadap diagnosis yang berhubungan dengan obstruksi urinari adalah :
1. Mengatasi obstruksi urine tanpa infeksi atau komplikasi yang permanen
2. Tidak mengalami tekanan atau nyeri berkepanjangan
3. Mengungkapkan penurunan atau tak adanya kecemasan tentang retensio urine.
4. Menunjukan tingkat fungsi sexual kembali sebagaimana sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Linda Jual. (1995). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume I (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press. Surabaya
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan).Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta
http://gudangaskep.wordpress.com/2009/01/17/asuhan-keperawatan-bph/

Selasa, 13 Maret 2012

askep katarak


2.1. Definisi  Katarak adalah nama yang diberikan untuk kekeruhan lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi protein lensa atau dapat juga akibat dari kedua-duanya yang biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progesif. (Mansjoer,2000;62)
Kekeruhan ini terjadi akibat gangguan metabolisme normal lensa yang dapat timbul pada berbagai usia tertentu. Katarak dapat terjadi pada saat perkembangan serat lensa masih berlangsung atau sesudah serat lensa berhenti dalam perkembangannya dan telah memulai proses degenerasi. Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif. Katarak mengakibatkan pengurangan visus oleh suatu tabir/layar yang diturunkan di dalam mata, seperti melihat air terjun. Penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan lensa yang keruh cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan bayangan yang kabur pada retina. Jumlah dan bentuk kekeruhan pada setiap lensa mata dapat bervariasi.
2.2. Etiologi
1. Ketuaan ( Katarak Senilis )
Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau bertambahnya usia seseorang. Usia rata-rata terjadinya katarak adalah pada usia 60 tahun keatas.
2. Trauma
Cedera mata dapat mengenai semua umur seperti pukulan keras, tusukan benda, terpotong, panas yang tinggi, dan bahan kimia dapat merusak lensa mata dan keadaan ini disebut katarak traumatik.
3. Penyakit mata lain ( Uveitis )
4. Penyakit sistemik ( Diabetes Mellitus )
5. Defek kongenital
Salah satu kelainan herediter sebagai akibat dari infeksi virus prenatal seperti German measles atau rubella. Katarak kongenitalis bisa merupakan penyakit keturunan ( diwariskan secara autosomal domonan ) atau bisa disebabkan oleh :
 Infeksi congenital, seperti campak jerman ( german measles )
 Berhubungan dengan penyakit metabolik, seperti galaktosemia (kadar gula yang meningkat).
Factor resiko terjadinya katarak kongenitalis adalah :
 Penyakit metabolik yang diturunkan
 Riwayat katarak dalam keluarga
 Infeksi virus pada ibu ketika bayi masih dalam kandungan.
Penyebab katarak lainnya meliputi :
  • Faktor keturunan.
  • Cacat bawaan sejak lahir.
  • Masalah kesehatan, misalnya diabetes.
  • Penggunaan obat tertentu, khususnya steroid.
  • gangguan metabolisme seperti DM (Diabetus Melitus)
  • gangguan pertumbuhan,
  • Mata tanpa pelindung terkena sinar matahari dalam waktu yang cukup lama.
  • Rokok dan Alkohol
  • Operasi mata sebelumnya.
  • Faktor-faktor lainnya yang belum diketahui.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya katarak adalah:
 Kadar kalsium yang rendah
 Diabetes mellitus
 Pemakaian kortikosteroid jangka panjang
 Berbagai penyakit peradangan dan penyakit metabolik
 Faktor lingkungan ( trauma, penyinaran, sinar ultraviolet )
2.3. Klasifikasi
Berdasarkan garis besar katarak dapat diklasifikasikan dalam golongan berikut :
1) Katarak perkembangan ( developmental ) dan degenerative.
2) Katarak trauma : katarak yang terjadi akibat trauma pada lensa mata.
3) Katarak komplikata (sekunder) : penyakit infeksi tertentu dan penyakit seperti DM dapat mengakibatkan timbulnya kekeruhan pada lensa yang akan menimbulkan katarak komplikata.
4) Berdasarkan usia pasien, katarak dapat di bagi dalam :
a. Katarak kongeniatal : katarak yang di temukan pada bayi ketika lahir (sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun)
b. Katarak juvenil : katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun dan di bawah usia 40 tahun
c. Katarak presenil, yaitu katarak sesudah usia 30-40 tahun
d. Katarak senilis : katarak yang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. Jenis katarak ini merupakan proses degeneratif ( kemunduran ) dan yang paling sering ditemukan.
Adapun tahapan katarak senilis adalah :
a) Katarak insipien : pada stadium insipien (awal) kekeruhan lensa mata masih sangat minimal, bahkan tidak terlihat tanpa menggunakan alat periksa. Kekeruhan lensa berbentuk bercak-bercak kekeruhan yang tidak teratur.penderita pada stadium ini seringkali tidak merasakan keluhan atau gangguan pada penglihatanya sehingga cenderung diabaikan.
b) Katarak immataur : lensa masih memiliki bagian yang jernih
c) Katarak matur : Pada stadium ini proses kekeruhan lensa terus berlangsung dan bertambah sampai menyeluruh pada bagian lensa sehingga keluhan yang sering disampaikan oleh penderita katarak pada saat ini adalah kesulitan saat membaca, penglihatan menjadi kabur, dan kesulitan melakukan aktifitas sehari-hari. Selain keluhan tesebut ada beberapa gejala yang dialami oleh penderita katarak, seperti :
1) Penglihatan berkabut atau justru terlalu silau saat melihat cahaya.
2) Warna terlihat pudar.
3) Sulit melihat saat malam hari.
4) Penglihatan ganda saat melihat satu benda dengan satu mata. Gejala ini terjadi saat katarak bertambah luas.
d) Katarak hipermatur : terdapat bagian permukaan lensa yang sudah merembes melalui kapsul lensa dan bisa menyebabkan perdangan pada struktur mata yang lainya.
2.4 Manifestasi Klinis
Katarak didiagnosis terutama dengan gejala subjektif. Biasanya klien melaporkan penurunan ketajaman penglihatan dan silau serta gangguan fungsional sampai derajat tertentu yang diakibatkan oleh kehilangan penglihatan tadi. Temuan objektif biasanya meliputi pengembunann seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tak akan tampak dengan oftalmoskop. Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan bukannya ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah pandangan menjadi kabur atau redup, menyilaukan dengan distorsi bayangan dan susah melihat di malam hari. Pupil yang normalnya hitam akan tampak abu-abu atau putih. Pengelihatan seakan-akan melihat asap dan pupil mata seakan akan bertambah putih. Pada akhirnya apabila katarak telah matang pupil akan tampak benar-benar putih ,sehingga refleks cahaya pada mata menjadi negatif.
Katarak biasanya terjadi bertahap selama bertahun-tahun dan ketika katarak sudah sangat memburuk lensa yang lebih kuat pun tidak akan mampu memperbaiki penglihatan. Orang dengan katarak secara khas selalu mencari cara untuk menghindari silau yang berasal dari cahaya yang salah arah. Misalnya dengan mengenkan topi berkelapak lebar atau kaca mata hitam dan menurunkan pelindung cahaya saat mengendarai mobil pada siang hari.
Gejala umum gangguan katarak meliputi :
  • Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
  • Peka terhadap sinar atau cahaya.
  • Dapat melihat dobel pada satu mata (diplobia).
  • Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
  • Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.
Gangguan penglihatan bisa berupa :
 Kesulitan melihat pada malam hari
 Melihat lingkaran di sekeliling cahaya atau cahaya terasa menyilaukan mata
 Penurunan ketajaman penglihatan ( bahkan pada siang hari )
Gejala lainya adalah :
 Sering berganti kaca mata
 Penglihatan sering pada salah satu mata.
Kadang katarak menyebabkan pembengkakan lensa dan peningkatan tekanan di dalam mata ( glukoma ) yang bisa menimbulkan rasa nyeri.
2.5. Patofisiologi
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan, berbentuk kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona sentral terdapat nukleus, di perifer ada korteks, dan yang mengelilingi keduanya adalah kapsul anterior dan posterior. Dengan bertambah usia, nucleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan. Di sekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior dan posterior nukleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang paling bermakna nampak seperti kristal salju pada jendela.
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi, perubahan pada serabut halus multiple (zunula) yang memanjang dari badan silier ke sekitar daerah di luar lensa misalnya dapat menyebabkan penglihatan mengalami distorsi. Perubahan Kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi disertai influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak.
Katarak biasanya terjadi bilateral, namun mempunyai kecepatan yang berbeda. Dapat disebabkan oleh kejadian trauma maupun sistematis, seperti DM, namun sebenarnya merupakan konsekuensi dari proses penuaan yang normal. Kebanyakan katarak berkembang secara kronik dan matang ketika orang memasuki dekade ke tujuh. Katarak dapat bersifat kongenital dan harus diidentifikasi awal karena bila tidak didiagnosa dapat menyebabkan ambliopia dan kehilangan penglihatan permanen. Faktor yang paling sering yang berperan dalam terjadinya katarak meliputi radiasi sinar ultraviolet B, obat-obatan, alcohol, merokok, DM, dan asupan vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka waktu lama.
2.6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada penderita katarak adalah sebagai berikut :
1) Kartu mata snellen /mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa, akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi, penyakit sistem saraf, penglihatan ke retina.
2) Lapang Penglihatan : penurunan mungkin karena massa tumor, karotis, glukoma.
3) Pengukuran Tonografi : TIO (12 – 25 mmHg)
4) Pengukuran Gonioskopi membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glukoma.
5) Tes Provokatif : menentukan adanya/ tipe glukoma
6) Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng optik, papiledema, perdarahan.
7) Darah lengkap, LED : menunjukkan anemi sistemik / infeksi.
8) EKG, kolesterol serum, lipid
9) Tes toleransi glukosa : kontrol DM
10) Keratometri.
11) Pemeriksaan lampu slit.
12) A-scan ultrasound (echography).
13) Penghitungan sel endotel penting u/ fakoemulsifikasi & implantasi.
14) USG mata sebagai persiapan untuk pembedahan katarak.
2.7. Penatalaksanaan
2.7.1 Pencegahan
Disarankan agar banyak mengkonsumsi buah-buahan yang banyak mengandung vit.C ,vit.A dan vit E.
2.7.2 Penatalaksanaan medis
Bila penglihatan dapat dikoreksi dengan dilator pupil dan refraksi kuat sampai ke titik di mana pasien melakukan aktivitas sehari-hari, maka penanganan biasanya konservatif.
Pembedahan diindikasikan bagi mereka yang memerlukan penglihatan akut untuk bekerja ataupun keamanan. Biasanya diindikasikan bila koreksi tajam penglihatan yang terbaik yang dapat dicapai adalah 20/50 atau lebih buruk lagi bila ketajaman pandang mempengaruhi keamanan atau kualitas hidup, atau bila visualisasi segmen posterior sangat perlu untuk mengevaluasi perkembangan berbagai penyakit retina atau saraf optikus, seperti diabetes dan glaukoma.
Pembedahan katarak terdiri dari pengangkatan lensa dan menggantinya dengan lensa buatan.
1) Pengangkatan lensa
Ada dua macam teknik pembedahan ynag bias digunakan untuk mengangkat lensa:
 Pembedahan ekstrakapsuler : lensa diangkat dengan meninggalkan kapsulnya.
 Pembedahan intrakapsuler : pengangkatan lensa beserta kapsulnya. Namun, saat ini pembedahan intrakapsuler sudah jarang dilakukan.
2) Penggantian lensa
Penderita yang telah menjalani pembedahan katrak biasanya akan mendapatkan lensa buatan sebagai pengganti lensa yang teleh diangkat. Lensa buatan ini merupakan lempengan plastik yang disebut lensa intraokuler dan biasanya lensa intraokuler dimasukkan ke dalam kapsul lensa di dalam mata.
Untuk mencegah infeksi, mengurangi peradangan, dan mempercepat penyembuhan selama beberapa minggu setelah pembedahan di berikan tetes mata atau salep. Untuk melindungi mata dari cedera, penderita sebaiknya menggunakan kaca mata atau pelindung mata yang terbuat dari logam sampai luka pembedahan benar-benar sembuh. Adapaun penatalaksanaan pada saat post operasi antara lain :
1. Pembatasan aktivitas, pasien yang telah melaksanakan pembedahan diperbolehkan :
 Menonton televisi; membaca bila perlu, tapi jangan terlalu lama
 Mengerjakan aktivitas biasa tapi dikurangi
 Pada awal mandi waslap selanjutnya menggunakan bak mandi atau pancuran
 Tidak boleh membungkuk pada wastafel atau bak mandi; condongkan sedikit kepala kebelakang saat mencuci rambut
2. Tidur dengan perisai pelindung mata logam pada malam hari; mengenakan kacamata pada siang hari
3. Ketika tidur, berbaring terlentang atau miring pada posisi mata yang tidak dioperasi, dan tidak boleh telengkup
4. Aktivitas dengan duduk
5. Mengenakan kacamata hitam untuk kenyamanan
6. Berlutut atau jongkok saat mengambil sesuatu dari lantai
7. Dihindari (paling tidak selama 1 minggu)
 Tidur pada sisi yang sakit
 Menggosok mata, menekan kelopak untuk menutup
 Mengejan saat defekasi
 Memakai sabun mendekati mata
 Mengangkat benda yang lebih dari 7 Kg
 Berhubungan seks
 Mengendarai kendaraan
 Batuk, bersin, dan muntah
 Menundukkan kepala sampai bawah pinggang, melipat lutut saja dan punggung tetap lurus untuk mengambil sesuatu dari lantai.
2.8. Komplikasi
Penyulit yg terjadi berupa visus tdk akan mencapai 5/5 à ambliopia sensori.
Komplikasi yang terjadi nistagmus dan strabismus dan bila katarak dibiarkan maka akan mengganggu penglihatan dan akan dapat menimbulkan komplikasi berupa Glaukoma dan Uveitis.
2.9. Prognosis
Penderita penyakit katarak memiliki prognosis untuk menjadi lebih baik setelah dilakukan pembedahan dan disiplin dalam mematuhi penatalaksanaan.
2.10. Web of caution
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
Pengkajian yang dapat dilakukan pada klien dengan katarak adalah :
1) Identitas
Berisi nama, usia, jenis kelamin, alamat, dan keterangan lain mengenai identitas pasien. Pada pasien dengan katarak konginetal biasanya sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun, sedangakan pasien dengan katarak juvenile terjadi pada usia < 40 tahun, pasien dengan katarak presenil terjadi pada usia sesudah 30-40 tahun, dan pasien dengan katark senilis terjadi pada usia > 40 tahun.
2) Riwayat penyakit sekarang
Merupakan penjelasan dari keluhan utama. Misalnya yang sering terjadi pada pasien dengan katarak adalah penurunan ketajaman penglihatan.
3) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sistemik yang di miliki oleh pasien seperti DM, hipertensi, pembedahan mata sebelumnya, dan penyakit metabolic lainnya memicu resiko katarak.
4) Aktifitas istirahat
Gejala yang terjadi pada aktifitas istirahat yakni perubahan aktifitas biasanya atau hobi yang berhubungan dengan gangguan penglihatan.
5) Neurosensori
Gejala yamg terjadi pada neurosensori adalah gamgguam penglihatan kabur / tidak jelas, sinar terang menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat atau merasa di runag gelap. Penglihatan berawan / kabur, tampak lingkaran cahaya / pelangi di sekitar sinar, perubahan kaca mata, pengobatan tidak memperbaikipenglihatan, fotophobia ( glukoma akut ).
Gejala tersebut ditandai dengan mata tampak kecoklatan atau putih susu pada pupil ( katarak ), pupil menyempit dan merah atau mata keras dan kornea berawan ( glukoma berat dan peningkatan air mata ).
6) Nyeri / kenyamanan
Gejalanya yaitu ketidaknyamanan ringan / atau mata berair. Nyeri tiba-tiba / berat menetap atau tekanan pada atau sekitar mata, dan sakit kepala.
7) Pembelajaran / pengajaran
Pada pengkajian klien dengan gangguan mata ( katarak ) kaji riwayat keluarga apakah ada riwayat diabetes atau gangguan sistem vaskuler, kaji riwayat stress, alergi, gangguan vasomotor seperti peningkatan tekanan vena, ketidakseimbangan endokrin dan diabetes, serta riwayat terpajan pada radiasi, steroid / toksisitas fenotiazin.
3.2. Analisa Data
NO. DATA ETIOLOGI MASALAH KEPERAWATAN
1). DS : – Mata silau,penglihatan seperti terhalang asap yang makin lama makin tebal.
- Mata kabur, kesulitan membaca, pandangan ganda
- Kesulitan melihat ( focus ) pada jarak jauh atau dekat.
DO : – Pupil dilatasi, pupil berwarna putih.
- Pengembunan pada pupil, retina tidak nampak.
Ketuaan
H2O dlm lensa
O2
K, protein, ascorbic acid
Na dan Ca
Nukleus pada lensa menjadi coklat kekuningan
Lensa menjadi opak
Cahaya dipendarkan, tidak pada retina
Pandangan kabur / redup, menyilaukan susah melihat pada malam hari.
  • Gangguan persepsa sensori-perseptual penglihatan.
2). DS : – Riwayat trauma pada mata karena benda tajam / tumpul
- Mata kabur, pandangan ganda, mata silau.
DO : – Pupil dilatasi
- Pupil berwarna putih Trauma
Trauma benda tumpul / tajam menembus kapsul anterior
  • Resiko terhadap cedera
3). DS : – Riwayat operasi mata.
- Mata sensitive terhadap cahaya, gatal, air mata atau krusta yang berlebih, mata basah.
DO : – Kehilangan vitreus, bercak di belakang mata. Operasi mata sebelumnya
Reaksi radang
Terbentuk jaringan fibrosis sisa lensa yang tertinggal
  • Defisit perawatan diri
4). DS : – Riwayat penyakit DM
- Mata silau, ketajaman penglihatan berkurang, penglihatan kabur / tidak jelas
DO : – Pupil berwarna putih, retina sulit di lihat Penyakit sitemik : DM
Gangguan keseimbangan susunan sel lensa oleh faktor fisik atau kimiawi
gangguan kejernihan lensa
  • Kurang pengetahuan tentang kondisi
5). DS : -
DO: – Bercak putih di depan pupil
( leukokoria )
- Katarak terlihat segera setelah bayi lahir – 1 thn Defek kongenital
Infeksi virus prenatal
Gg metabolisme
serat lensa
Gg perkembangan embrio intraurine
Kekeruhan lensa pada neonatus
Rencana piñatalaksanaan pembedahan
  • Ansietas pre operasi-keluarga
6). DS : – Riwayat penggunaan obat- obatan dalam jangka waktu lama
- Riwayat terpapar zat-zat kimia ; rokok, alkohol.
- Mata silau, ketajaman penglihatan menurun, mata kabur
DO : – Pupil dilatasi, pupil berwarna putih, retina tidak Nampak. Rokok, alkohol, dan obat-obatan
Perubahan kimia dalam protein lensa
Koagulasi
Pembedahan lensa
  • Nyeri
7). DS : – Riwayat penggunaan obat- obatan dalam jangka waktu lama
- Riwayat terpapar zat-zat kimia ; rokok, alkohol.
- Mata silau, ketajaman penglihatan menurun, mata kabur
DO : – Pupil dilatasi, pupil berwarna putih, retina tidak Nampak Rokok, alkohol, dan obat-obatan
Perubahan kimia dalam protein lensa
Koagulasi
Pembedahan lensa
Lukas insisi pembedahan
  • Resiko infeksi
3.3. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi
1) Gangguan persepsi sensori-perseptual penglihatan berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori/status organ indera.
2) Resiko tinggi cedera berhubungan dengan kerusakan fungsi sensori penglihatan – kehilangan vitreus, pandangan kabur, perdarahan intraokuler.
3) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi, kurang terpajan/mengingat, keterbatasan kognitif.
4) Ansietas berhubungan prosedur penatalaksanaan / tindakan pembedahan
5) Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan gangguan penglihatan.
Post operasi
1) Nyeri berhubungan dengan trauma insisi.
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur tindakan invasif insisi jaringan tubuh
3) Gangguan persepsi sensori-perseptual penglihatan berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori/status organ indera.
4) Resiko tinggi cedera berhubungan dengan kerusakan fungsi sensori penglihatan – kehilangan vitreus, pandangan kabur, perdarahan intraokuler
3.4. Intervensi dan rasional
1) Gangguan persepsi sensori-perseptual penglihatan berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori/status organ indera.
  • Tujuan :
Meningkatkan ketajaman penglihatan dalam batas situasi individu, mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan.
  • Kriteria Hasil :
- Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan.
- Mengidentifikasi/memperbaiki potensial bahaya dalam lingkungan.
INTERVENSI RASIONAL
ii. Tentukan ketajaman penglihatan, kemudian catat apakah satu atau dua mata terlibat.
Observasi tanda-tanda disorientasi.
iii. Orientasikan klien tehadap lingkungan.
iv. Pendekatan dari sisi yang tak dioperasi, bicara dengan menyentuh.
v. Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur dan iritasi mata, dimana dapat terjadi bila menggunakan tetes mata.
vi. Ingatkan klien menggunakan kacamata katarak yang tujuannya memperbesar kurang lebih 25 persen, pelihatan perifer hilang dan buta titik mungkin ada.
vii. Letakkan barang yang dibutuhkan/posisi bel pemanggil dalam jangkauan/posisi yang tidak dioperasi. viii. Penemuan dan penanganan awal komplikasi dapat mengurangi resiko kerusakan lebih lanjut.
ix. Meningkatkan keamanan mobilitas dalam lingkungan.
x. Komunikasi yang disampaikan dapat lebih mudah diterima dengan jelas.
xi. Cahaya yang kuat menyebabkan rasa tak nyaman setelah penggunaan tetes mata dilator.
xii. Membantu penglihatan pasien.
xiii. Memudahkan pasien untuk berkomunikasi
2) Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan kerusakan fungsi sensori penglihatan – kehilangan vitreus,pandangan kabur, perdarahan intraokuler.
  • Tujuan:
Menyatakan pemahaman terhadap factor yang terlibat dalam kemungkinan cedera.
  • Kriteria hasil :
 Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan factor resiko dan untuk melindungi diri dari cedera.
 Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan keamanan.
INTERVENSI RASIONAL
 Diskusikan apa yang terjadi tentang kondisi paska operasi, nyeri, pembatasan aktifitas, penampilan, balutan mata.
 Beri klien posisi bersandar, kepala tinggi, atau miring ke sisi yang tak sakit sesuai keinginan.
 Batasi aktifitas seperti menggerakan kepala tiba-tiba, menggaruk mata, membongkok.
 Ambulasi dengan bantuan : berikan kamar mandi khusus bila sembuh dari anestesi.
 Minta klien membedakan antara ketidaknyamanan dan nyeri tajam tiba-tiba, Selidiki kegelisahan, disorientasi, gangguan balutan.
Observasi hifema dengan senter sesuai indikasi. xiv. Kondisi mata post operasi mempengaruhi visus pasien
xv. Posisi menentukan tingkat kenyamanan pasien.
xvi. Aktivitas berlebih mampu meningkatkan tekanan intra okuler mata.
xvii. Visus mulai berkurang, resiko cedera semakin tinggi.
xviii. Pengumpulan Informasi dalam pencegahan komplikasi
3) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi, kurang terpajan/mengingat, keterbatasan kognitif.
  • Tujuan :
Klien menunjukkan pemahaman tentang kondisi, proses penyakit dan pengobatan.
  • Kriteria Hasil :
Melakukan dengan prosedur benar dan menjelaskan alasan tindakan.
INTERVENSI RASIONAL
xix. Pantau informasi tentang kondisi individu, prognosis, tipe prosedur, lensa.
Tekankan pentingnya evaluasi perawatan rutin, beritahu untuk melaporkan penglihatan berawan.
Identifikasi tanda/gejala memerlukan upaya evaluasi medis, misal : nyeri tiba-tiba.
xx. Informasikan klien untuk menghindari tetes mata yang dijual bebas.
xxi. Diskusikan kemungkinan efek/interaksi antar obat mata dan masalah medis klien.
xxii. Anjurkan klien menghindari membaca, berkedip, mengangkat berat, mengejan saat defekasi, membongkok pada panggul, dll.
xxiii. Anjurkan klien tidur terlentang. xxiv. Penemuan dan penanganan awal komplikasi dapat mengurangi resiko kerusakan lebih lanjut.
xxv. Cahaya yang kuat menyebabkan rasa tak nyaman setelah penggunaan tetes mata dilator.
xxvi. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat meningkatkan tekanan intra okuler.
xxvii. Tidur terlentang dapat membantu kondisi mata agar lebih nyaman.
4) Ansietas berhubungan dengan prosedur penatalaksanaan / tindakan pembedahan.
  • Tujuan/kriteria evaluasi:
 Pasien mengungkapkan dan mendiskusikan rasa cemas/takutnya.
 Pasien tampak rileks tidak tegang dan melaporkan kecemasannya berkurang sampai pada tingkat dapat diatasi.
 Pasien dapat mengungkapkan keakuratan pengetahuan tentang pembedahan.
INTERVENSI RASIONAL
 Pantau tingkat kecemasan pasien dan catat adanya tanda- tanda verbal dan nonverbal.
 Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaan takutnya.
 Observasi tanda vital dan peningkatan respon fisik pasien.
 Beri penjelasan pasien tentang prosedur tindakan operasi, harapan dan akibatnya.
 Beri penjelasan dan suport pada pasien pada setiap melakukan prosedur tindakan.
 Lakukan orientasi dan perkenalan pasien terhadap ruangan, petugas, dan peralatan yang akan digunakan.  Derajat kecemasan akan dipengaruhi bagaimana informasi tentang prosedur penatalaksanaan diterima oleh individu.
 Mengungkapkan rasa takut secara terbuka dimana rasa takut dapat ditujukan.
 Mengetahui respon fisiologis yang ditimbulkan akibat kecemasan.
 Meningkatkan pengetahuan pasien dalam rangka mengurangi kecemasan dan kooperatif.
 Mengurangi kecemasan dan meningkatkan pengetahuan .
 Mengurangi perasaan takut dan cemas.
5) Nyeri berhubungan dengan trauma insisi
  • Tujuan : pengurangan nyeri.
INTERVENSI RASIONAL
 Berikan obat untuk mengontrol nyeri dan TIO sesuai dengan resep.
 Berikan kompres dingin sesuai dengan permintaan untuk trauma tumpul.
 Kurangi tingkat pencahayaan.
 Dorong penggunaan kaca mata hitam pada cahaya yang kuat.  Pemakaian sesuai dengan resep akan mengurangi nyeri dan TIO dan meningkatkan rasa.
 Mengurangi edema akan mengurangi nyeri.
 Tingkat pencahayaan yang lebih rendah nyakan setelah pembedahan.
 Cahaya yang kuat menyebabkan rasa tak nyaman setelah penggunaan tetes mata dilator
6) Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kerusakan penglihatan.
  • Tujuan : mampu memenuhi kebutuhan perawatan diri
INTERVENSI RASIONAL
 Beri instruksi kepada pasien atau orang terdekat mengenal tanda atau gejala komplikasi yang harus dilaporkan segera kepada dokter.
 Berikan instruksi lisan dan tertulis untuk pasien dan orang yang berati mengenal teknik yang benar memberikan obat.
 Evaluasi Perlunya bantuan setelah pemulangan.
 Ajari pasien dan keluarga teknik panduan penglihatan. xxviii. Penemuan dan penanganan awal komplikasi dapat mengurangi resiko kerusakan lebih lanjut.
xxix. Pemakaian teknik yang benar akan mengurangi resiko infeksi dan cedera mata.
xxx. Sumber daya harus tersedia untuk layanan kesehatan, pendampingan dan teman di rumah
xxxi. Memungkinkan tindakan yang aman dalam lingkungan.
7) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur tindakan invasif insisi jaringan tubuh.
  • Tujuan : Tidak terjadi penyebaran infeksi selama tindakan prosedur pembedahan ditandai dengan penggunaan teknik antiseptik dan desinfeksi secara tepat dan benar.
INTERVENSI RASIONAL
xxxii. Ciptakan lingkungan ruangan yang bersih dan babas dari kontaminasi dunia luar
xxxiii. Jaga area kesterilan luka operasi
xxxiv. Lakukan teknik aseptik dan desinfeksi secara tepat dalam merawat luka
xxxv. Kolaborasi terapi medik pemberian antibiotika profilaksis  1Mengurangi kontaminasi dan paparan pasien terhadap agen infektious.
 Mencegah dan mengurangi transmisi kuman.
 mencegah kontaminasi pathogen
 mencegah pertumbuhan dan perkembangan kuman.


DAFTAR PUSTAKA
Luckman and sorensen’s, 1993, Medical Surgical Nursing –.ed.4.- Philadelphia, Pennsylvania : The Curtis Center
 http://putrisayangbunda.blog.com/2011/07/28/askep-katarak/

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN EMFISEMA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN EMFISEMA

DEFINISI
Emfisema paru merupakan bentuk paling berat dari PPOM dikarakteristikkan oleh inflamasi berulang yang melukai dan akhirnya merusak dinding alveolar menyebabkan banyak blab atau bula (ruang udara) kolaps bronkiolus pada ekspirasi (jebakan udara).
Emfisema paru juga dapat didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun.

KLASIFIKASI
Terdapat 2 (dua) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru.
a. Panlobular (panacinar), yaitu terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat badan.
b. Sentrilobular (sentroacinar), yaitu perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus tetap baik. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas.

ETIOLOGI
1.Merokok adalah penyebab utama
2.Faktor predisposisi. Genetik terhadap emfisema yang berkaitan dengan abnormalitas protein plasma, defisiensi antitripsin alfa-1, yang merupakan suatu enzim inhibitor. Secara genetik sensitif terhadap faktor lingkungan (merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, alergen).

PATOFISIOLOGI
ter lampir...

MANIFESTASI KLINIK
1.Dispnea
2.Pada inspeksi: bentuk dada ‘burrel chest’
3.Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-otot aksesori pernapasan (sternokleidomastoid)
4.Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru.
5.Pada auskultasi: terdengar bunyi napas dengan krekels, ronki, dan perpanjangan ekspirasi
6.Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum
7.Distensi vena leher selama ekspirasi

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a.Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
b.Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, mis., bronkodilator.
c.TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan emfisema
d.Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema
e.Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma
f.FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronkitis dan asma
g.GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis
h.Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkitis
i.JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma)
j.Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer
k.Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi
l.EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema)
m.EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.



PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, untuk memperlambat kemajuan proses penyakit, dan untuk mengatasi, obstruksi jalan napas untuk menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik mencakup:
a.Tindakan pengobatan dimaksudkan untuk memperbaiki ventilasi dan menurunkan upaya bernapas
b.Pencegahan dan pengobatan cepat terhadap infeksi
c.Teknik terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi pulmonari
d.Pemeliharaan kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernapasan
e.Dukungan psikologis
f.Penyuluhan pasien dan rehabilitasi yang berkesinambungan
g.Bronkodilator

Bronkodilator diresepkan untuk mendilatasi jalan nafas karena preparat ini melawan edema mukosa maupun spasme muskular dan membantu mengurangi obstruksi jalan nafas serta memperbaiki pertukaran gas.Medikasi ini mencakup antagonis β-adrenergik (metoproterenol, isoproterenol) dan metilxantin (teofilin, aminofilin), yang menghasilkan dilatasi bronkial.
Bronkodilator mungkin diresepkan per oral, subkutan, intravena, per rektal atau inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan melalui aerosol bertekanan, nebuliser.Bronkodilator mungkin menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan termasuk takikardia, disritmia jantung, dan perangsangan sisten saraf pusat. Metilxantin dapat juga menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti mual dan muntah.
 Terapi Aerosol
Aerosolisasi (proses membagi partikel mrnjadi serbuk yang sangat halus) dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk membantu dalam bronkodilatasi. Aerosol yang dinebulizer menghilangkan edema mukosa dan mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini mempermudah proses pembersihan bronkhiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi dan memperbaiki fungsi ventilasi.
 Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema rentan dengan infeksi paru dan harus diobati pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi seperti sputum purulen, batuk meningkat dan demam. Organisme yang paling sering adalah S. pneumonia, H. influenzae, dan Branhamella catarrhalis. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin atau trimetoprim-sulfametoxazol (Bactrim) mungkin diresepkan.
 Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan tekanan oksigen hingga antara 65 dan 80 mmHg. Pada emfisema berat, oksigen diberikan sedikitnya 16 jam perhari sampai 24 jam perhari

ASUHAN KEPERAWATAN


PENGKAJIAN
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala:
- Keletihan, kelelahan, malaise
- Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernapas
- Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi
- Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan
Tanda:
- Keletihan, gelisah, insomnia
- Kelemahan umum/kehilangan massa otot

b. Sirkulasi
Gejala:
- pembengkakan pada ekstremitas bawah
Tanda:
- Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung/takikardia berat, disritmia, distensi vena leher
- Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung
- Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan peningkatan diameter AP dada)
- Warna kulit/membran mukosa: normal atau abu-abu/sianosis
- Pucat dapat menunjukkan anemia

c. Makanan/Cairan
Gejala:
- Mual/muntah, nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema)
- Ketidakmampuan untuk makan karena distres pernapasan
- Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema (bronkitis)
Tanda:
- Turgor kulit buruk, edema dependen
- Berkeringat, penuruna berat badan, penurunan massa otot/lemak subkutan (emfisema)
- Palpitasi abdominal dapat menyebabkan hepatomegali (bronkitis)

d. Hygiene
Gejala:
- Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari
Tanda:
- Kebersihan, buruk, bau badan
e. Pernafasan
Gejala:
- Nafas pendek (timbulnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada emfisema) khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma)
- “Lapar udara” kronis
- Bentuk menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada saat bangun) selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau, putih dan kuning) dapat banyak sekali (bronkitis kronis)
- Episode batuk hilang timbul biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun dapat terjadi produktif (emfisema)
- Riwayat pneumonia berulang: terpajan pada polusi kimia/iritan pernafasan dalam jangka panjang (mis., rokok sigaret) atau debu/asap (mis., abses, debu atau batu bara, serbuk gergaji)
- Faktor keluarga dan keturunan, mis., defisiensi alfa-anti tripsin (emfisema)
- Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus
Tanda:
- Pernafasan: biasanya cepat, dapat lambat, penggunaan otot bantu pernapasan
- Dada: hiperinflasi dengan peninggian diameter AP, gerakan diafragma minimal
- Bunyi nafas: mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema); menyebar, lembut atau krekels, ronki, mengi sepanjang area paru.
- Perkusi: hiperesonan pada area paru
- Warna: pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku.

f. Keamanan
Gejala:
- Riwayat reaksi alergi atau sensitif terhadap zat/faktor lingkungan
- Adanya/berulangnya infeksi
- Kemerahan/berkeringat (asma)

g. Seksualitas
Gejala:
- Penurunan libido

h. Interaksi sosial
Gejala:
- Hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, ketidak mampuan membaik/penyakit lama
Tanda:
- Ketidakmampuan untuk/membuat mempertahankan suara pernafasan
- Keterbatasan mobilitas fisik, kelainan dengan anggota keluarga lalu

i. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala:
- Penggunaan/penyalahgunaan obat pernapasan, kesulitan menghentikan merokok, penggunaan alkohol secara teratur, kegagalan untuk membaik.

PRIORITAS KEPERAWATAN
1. Mempertahankan patensi jalan napas
2. Membantu tindakan untuk mempermudah pertukaran gas
3. Meningkatkan masukan nutrisi
4. Mencegah komplikasi, memperlambat memburuknya kondisi
5. Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan program pengobatan

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Jalan nafas inefektif b/d bronkospasme, peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental d/d pernyataan kesulitan bernapas, perubahan kedalaman/kecepatan bernapas, penggunaan otot bantu pernapasan, bunyi nafas tidak normal, mis., ronki, mengi, krekels; batuk (menetap) dengan/tanpa produksi sputum
Kriteria Hasil:
- Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih dan jelas.
- Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas, mis., batuk efektif dan mengeluarkan sekret

INTERVENSI RASIONAL
Mandiri:
• Auskultasi bunyi napas, catat adanya bunyi napas tambahan, mis., mengi, krekels, ronki

• Kaji/pantau frekuensi pernapasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi


• Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distres pernapasan, penggunaan otot bantu napas

• Tempatkan/atur posisi pasien senyaman mungkin, mis., peninggian kepala tempat tidur 15-30°, duduk pada sandaran tempat tidur.
• Pertahankan udara lingkungan/minimalkan polusi lingkungan, mis., debu, asap, dll.
• Bantu latihan napas abdomen atau bibir


• Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Berikan/anjurkan minum air hangat.
Kolaborasi:
• Berikan obat-obatan sesuai indikasi, mis., bronkodilator

• Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanyan bunyi napas advertisius.
• Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapt ditemukan pada penerimaan atau selama stres/adanya proses infeksi akut.
• Disfungsi pernapasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di Rumah Sakit.
• Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi.

• Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan dapat mentriger episode akut.
• Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara
• Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.

• Merilekskan otot halus dan menurunkan spasme jalan napas, mengi, dan produksi mukosa.


2. Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan nafas) oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara, kerusakan alveoli d/d dispnea, bingung, gelisah, ketidakmampuan mengeluarkan sekret nilai GDA tidak normal (hipoksia dan hiperkapnea), perubahan tanda vital, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
Kriteria Hasil:
- Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distres pernapasan.
- Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan/situasi.

INTERVENSI RASIONAL
• Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan, catat penggunaan otot bantu pernapasan, napas bibir.
• Tinggikan kepala tempat tidur, bantu klien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas, dorong nafas dalam perlahan
• Kaji / awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa
• Anjurkan mengeluarkan sputum, penghisapan bila diindikasikan



• Auskultasi bunyi nafas, cata area penurunan udara/bunyi tambahan


• Awasi tanda vital dan irama jantung


Kolaborasi
• Berikan oksigen sesuai indikasi
• Berikan penekan SSP (anti ansietas sedatif atau narkotik) dengan hati-hati sesuai indikasi • Berguna dalam evaluasi derajat distres pernafasan/kronisnya proses penyakit
• Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps paru
• Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku)
• Sputum kental, tebal serta banyaknya sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan napas kecil. Penghisapan dibutuhkan bila batuk tidak efektif
• Bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area konsolidasi, adanya mengidentifikasi spasme bronkus
• Takikardi, disritmia dan penurunan td dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung

• Dapat memperbaiki/mencegah buruknya hipoksia
• Untuk mengontrol ansietas/gelisah yang meningkatkan konsumsi/kebutuhan oksigen


3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d dispnea, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual/muntah d/d penurunan berat badan, kehilangan massa otot, tonus otot buruk, kelemahan, keengganan untuk makan.
Kriteri hasil:
- Menunjukkan BB meningkatkat
- Mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas tanda malnutrisi.
- Melakukan perilaku/perubahan pola hidup untuk menngkatkan dan mempertahankan BB yang tepat.

INTERVENSI RASIONAL
• Catat status nutrisi pasien pada penerimaan , catat turgor kulit, BB dan derajat kekurangan BB, ketidakmampuan menelan.
• Pastikan pola diet biasa pada pasien yang disukai/tidak disukai


• Awasi pemasukan/pengeluaran dan BB secara periodik.

• Selidiki anoreksia, mual dan muntah. Catat kemungkinan dengan obat, awasi frekuensi, volume, konsistensi feses.
• Berikan periode istirahat sering.


• Berikan perawatan mulut


• Hindari makanan penghasi gas dan minuman karbonat. Hindari makanan yang sangat panas dan sangat dingin


• Anjurkan makan sedikit tapi sering dengan makanan TKTP

• Motivasi orang terdekat untuk membawa makanan dari rumah dan untuk membagi dengan pasien kecuali kontraindikasi
Kolaborasi
• Rujuk ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet.

• Kaji/observasi nilai pemeriksaan Laboratorium, mis., profil asam amino, besi, glukosa, pemeriksaan fungsi hati dan elektrolit. Berikan vitamin/mineral/elektrolit sesuai indikasi • Berguna dalam mendefinisikan derajat/luasnya masalah dan pilihan intervensi yang tepat.

• Membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan khusus. Pertimbangan keinginan individu dapat memperbaiki masukan diet.
• Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
• Dapat mempengaruhi pilihan diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk meningkatkan pemasukan nutrien.
• Membantu menghemat energi khususnya bila kebutuhan metabolik meningkat saat demam.
• Menurunkan rasa tidak enak karena sisa sputum/obat yang merangsang pasien muntah.
• Dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu napas abdomen dan gerakan diafragma. Suhu yang ekstrim dapat meningkatkan spasme batuk
• Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan, menurunkan iritasi gaster.
• Membuat lingkungan sosial lebih normal selama makan dan membantu memenuhi kebutuhan personal.

• Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat
• Mengevaluasi/mengatasi kekurangan dan mengawasi keefektifan terapi nutrisi


4. Resiko tinggi terhadap infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan dan peningkatan pemajanan terhadap lingkungan, proses penyakit kronis dan malnutrisi.
Kriteria Hasil:
- Pasien akan mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi
- Perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang nyaman

INTERVENSI RASIONAL
Mandiri:
• Kaji dan awasi suhu tubuh

• Kaji pentingnya latihan napas, batuk efektif, perubahan posisi sering dan masukan cairan adekuat

• Observasi warna, karakter dan bau sputum
• Diskusikan kebutuhan nutrisi adekuat


Kolaborasi:
• Dapatkan spesimen sputum dengan batuk dan pengisapan untuk pewarnaan gram, /kultur/sensitifitas
• Berikan anti mikrobial sesuai indikasi
• Demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi
• Aktivitas ini meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran sekret untuk menurunkan terjadinya resiko infeksi paru
• Sekret berbau, kuning atau kehijauan menunjukkan adanya infeksi paru
• Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi

• Dikakukan untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan kerentanan terhadap berbagai anti mikrobial
• Dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan sensitifitas atau diberikan secara profilaktik karena resiko tinggi


5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakit dan tindakan perawatan b/d kurang informasi/tidak mengenal sumber informasi d/d pertanyaan tentang informasi, tidak akurat mengikuti instruksi
Kriteria Hasil:
- Menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan
- Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan

INTERVENSI RASIONAL
• Jelaskan tentang proses penyakit individu

• Instruksikan rasional untuk latihan napas, batuk efektif, dan latihan kondisi umum

• Diskusikan pentingnya menghindari orang yang sedang infeksi pernapasan aktif
• Kaji efek bahaya merokok dan nasehatkan meghentikan merokok pada pasien dan atau orang terdekat
• Diskusikan obat pernapasan, efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan
• Tunjukkan/ajarkan teknik penggunaan inhaler • Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan partisipasi pada rencana pengobatan
• Napas bibir dan napas perut (abdominal) menguatkan otot pernapasan, membantu meminimalkan kolaps jalan napas kecil. Latihan kondisi umum meningkatkan toleransi aktivitas, kekuatan otot dan rasa sehat
• Menurunkan pemajanan dan insiden mendapatkan infeksi saluran pernapasan atas
• Penghentian rokok dapat menghambat kemajuan PPOM.

• Pentung bagi pasien memahami perbedaan antara efek samping mengganggu dan merugikan
• Pemberian obat yang tepat meningkatkan keefektifannya.

 http://httpyasirblogspotcom.blogspot.com/2009/11/asuhan-keperawatan-pada-pasien-dengan.html

Selasa, 06 Maret 2012

laporan penaduhuluan harga diri rendah


LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH KRONIS

1. Kasus (Masalah Utama)

Harga diri rendah kronis

2. Proses terjadinya masalah

2.1 Pengertian harga diri rendah

      Gangguan harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan ( Townsend, 1998 ).
            Menurut Schult & Videbeck ( 1998 ), gangguan harga diri rendah adalah penilaian negatif seseorang terhadap diiri dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung
            Gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan. (Budi Ana Keliat, 1999).
            Jadi dapat disimpulkan bahwa perasaan negatif terhadap diri sendiri yang dapat diekspresikan secara langsung dan tak langsung.
2.2 Tanda dan gejala
      Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit (rambut botak karena terapi)
o    Rasa bersalah
o    Adanya penolakan
o    Marah, sedih dan menangis
o    Perubahan pola makan, tidur, mimpi, konsentrasi dan aktivitas
o    Mengungkapkan tidak berdaya
o    Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
o    Menghindar dari orang lain (menyendiri)
o    Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/perawat
o    Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk
o    Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas
o    Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap
o    Tidak/ jarang melakukan kegiatan sehari-hari.
(Budi Anna Keliat, 1998)
2.3 Penyebab dari harga diri rendah
Salah satu penyebab dari harga diri rendah yaitu berduka disfungsional. Berduka disfungsional merupakan pemanjangan atau tidak sukses dalam menggunakan respon intelektual dan emosional oleh individu dalam melalui proses modifikasi konsep diri berdasarkan persepsi kehilangan.
·         Faktor Predisposisi terjadinya HDR
Dimulai sejak klien masih kecil akibat oleh penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistik, kegagalan yang berulang-ulang, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan, gagal untuk mencintai orang lain, dan ideal diri yang tidak realistik.
·         Faktor Presipitasi terjadinya HDR
Kejadian traumatis, psikologis karena menyaksikan hal yang mengancam kehidupan, kehilangan bagian tubuh, perubahan bentuk penampilan,  serta kegagalan dalam berproduktivitas.

2.4 Akibat dari harga diri rendah

Harga diri rendah dapat beresiko terjadinya isolasi sosial : menarik diri. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993).

3.  Pohon masalah dan Masalah Keperawatan
3.1 Pohon Masalah
                                        Risiko tinggi perilaku kekerasan

Effect                           perubahan persepsi sensori : halusinasi

                                                       Isolasi sosial

Harga diri rendah kronis
 
Core problem                         
 

Causa                                     koping individu tidak efektif

3.2 Masalah dan Data yang Perlu Dikaji

No
Masalah Keperawatan
Data Subyektif

Data Obyektif

1
Isolasi sosial : menarik diri
·         Mengungkapkan tidak berdaya dan tidak ingin hidup lagi
·         Mengungkapkan enggan berbicara dengan orang lain
·         Klien malu bertemu dan berhadapan dengan orang lain
·         Ekspresi wajah kosong
·         Tidak ada kontak mata ketika diajak bicara
·         Suara pelan dan tidak jelas
2
Gangguan konsep diri : harga diri rendah
·         Mengungkapkan ingin diakui jati dirinya
·         Mengungkapkan tidak ada lagi yang peduli
·         Mengungkapkan tidak bisa apa-apa
·         Mengungkapkan dirinya tidak berguna
·         Mengkritik diri sendiri

·         Merusak diri sendiri
·         Merusak orang lain
·         Menarik diri dari hubungan sosial
·         Tampak mudah tersinggung
·         Tidak mau makan dan tidak tidur
·         Perasaan malu
·         Tidak nyaman jika jadi pusat perhatian
3
Berduka disfungsional
·         Mengungkapkan tidak berdaya dan tidak ingin hidup lagi
·         Mengungkapkan sedih karena tidak naik kelas
·         Klien malu bertemu dan berhadapan dengan orang lain karena diceraikan suaminya.
·         Ekspresi wajah sedih
·         Tidak ada kontak mata ketika diajak bicara
·         Suara pelan dan tidak jelas
·         Tampak menangis

 

Rentang Respon



 


Respon adaptif

 

 

Respon maladaptif

 

Aktualisasi diri

Konsep diri positif

Harga diri rendah

Kerancuan identitas

Depersonalisasi

 



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



DAFTAR PUSTAKA


Azis R, dkk. 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino Gondoutomo.
Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Boyd MA, Hihart MA. 1998. Psychiatric Nursing : contemporary practice. Philadelphia : Lipincott-Raven Publisher.
Keliat BA. 1999. Proses Kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC.
Stuart GW, Sundeen SJ. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC.





















RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Nama Klien     :…………….                                                                                                                          Ruangan            :…………….
No. CM           :…………….                                                                                                                          Dx Medis            :……………
Tgl
No Dx
Dx
Keperawatan
Perencanaan
Tujuan
Kriteria Evaluasi
Intervensi
Rasional


Harga Diri Rendah
Tujuan : Klien memiliki konsep diri yang positif

Orientasi : Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
1. Setelah 2× inter-aksi klien me-nunjukan tanda-tanda percaya kepada perawat :
§  Ekspresi wajah bersahabat
§  Menunjukan rasa senang
§  Ada kontak mata
§  Mau berjabat tangan
§  mau menyebutkan nama
§  Mau menjawab salam
§  Mau duduk berdampingan dengan perawat
Bersedia mengungkapkan masalah yang dihadapi
1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik :
§  Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun nonverbal
§  Perkenalkan nama, nama panggilan dan tujuan perawat berkenalan
§  Tanyakan nama lengkap dan nama penggilan yang disukai klien
§  Buat kontrak yang jelas
§  Tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi
§  Tunjukan sikap empati dan menerima apa adanya
§  Beri perhatian kepada klien dan masalah yang dihadapi klien
§  Dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi  perasaan klien

Kepercayaan dari klien merupakan hal yang mutlak serta akan memudahkan dalam pendekatan dan tindakan keperawatan yang akan dilakukan kepada klien



SP 1 : Klien dapat mengidentifikasi aspek positif dan kemampuan yang dimiliki
2.aSetelah 3× interaksi klien menyebutkan  :
§ aspek positif dan kemampuan yang dimiliki klien
§ Aspek positif keluarga
§ Aspek positif  lingkungan klien
2.1  Diskusikan dengan klien tentang:
§  Aspek positif yang dimiliki klien keluarga, lingkungan
§  Kemampuan yang dimiliki klien
2.2 Bersama klien buat daftar tantang :
§  Aspek positif klien, keluarga, lingkungan
§  Kemampuan yang dimiliki klien
2.3 Beri pujian yang realistis, hindarkan memberi penilaian negatif

2.1 Aspek positif penting untuk meningkatkan PD serta harga diri

2.2 Memvalidasi dan menguatkan apa yang sudah disampaikan secara lisan
2.3 Meningkatkan harga diri serta memancing klien untuk mengungkapkan apa yang diinginkan oleh klien



SP 3 : Klien dapat menilai kemampuan yang dimiliki untuk dilaksanakan
3. Setelah…..× interaksi klien menyebutkan kemampuan yang dapat dilaksanakan

3.1 Diskusikan dengan klien kemampun yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan klien

3.2 Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan pelaksanaannya

3. Mencari cara yang konstruktif dan menunjukan potensi yang dimiliki klien untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik dan berharga



SP 4 : klien dapat merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
4. Setelah…..× interaksi klien membuat rencana kegiatan harian
4.1 Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan klien :
§  kegiatan mandiri
§  kegiatan dengan bantuan





4.2 Tingkatkan kegiatan sesuai kondisi klien



4.3 Beri contoh cara pelaklsanaan kegiatan setelah pulang
4.1 Menghindari adanya kehilangan/perubhan peran akibat perasaan HDR yang dialami klien serta mencari alternatif koping untuk meningkatkan harga diri
4.2 Menghargai kemampuan klien serta menunjukan kemampuan yang klien miliki
4.3 Meningkatkan pengetahuan klien dalam mekanisme koping yang konstruktif dalam menghargai diri sendiri



SP 5 : Klien dapat melakukan kegiatan sesuai rencana yang dibuat
5. Setelah…..× interaksi klien melakukan kegiatan sesuai jadwal yang dibuat
5.1 Anjurkan klien untuk melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan
5.2 Pantau  kegiata yang dilaksanakan klien
5.3 Beri pujian atas usaha yang dilakukan klien
5.4 Diskusikan kemungkinan pelaksanaan kegiatan setelah pulang

5. Membantu klien meningkatkan harga dirinya



SP 6 : Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
6. Setelah…..× interaksi klien memanfaatkan sistem pendukung yang ada di keluarga

6.1 Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah
6.2 Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat
6.3 Bantu keluarga menyiapkan lingkungan rumah
6. Keluarga sebagai sistem pendukung utama mempunyai peran serta potensi besar dalam menciptakan konsep serta harga diri klien