KEJANG DEMAM
1. DEFINISI
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang
terjadi pada kenaikan suhu tubuh ( suhu rectal diatas 380C )
yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam
merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak-anak,
terutama pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun. Menurut Consensus statement on febrile
seizures (1980), kejang demam adalah kejadian pada bayi atau anak yang
berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam
dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang
demam harus dibedakan dengan epilepsi,yaitu yang ditandai denagn kejang
berulang tanpa demam.
Definisi
ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis,
ensefatitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis
berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem
susunan saraf pusat. Hampir 3% daripada anak yang berumur di bawah 5 tahun
pernah menderitanya (Millichap, 1968). Wegman (1939) dan Millichap (1959) dari
percobaan binatang berkesimpulan bahwa suhu yang tinggi dapat menyebabkan
terjadinya bangkitan kejang.
Terjadinya
bangkitan kejang demam bergantung kepada umur, tinggi serta cepatnya suhu
meningkat (Wegman, 1939; Prichard dan McGreal, 1958). Faktor hereditas juga
mempunyai peranan. Lennox-Buchthal (1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap
bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan penetrasi yang
tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga
penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%.
2. KLASIFIKASI KEJANG DEMAM (KD)
Umumnya kejang demam diklasifikasikan menjadi
2 golongan yaitu kejang demam sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit
dan berlangsung umum, dan kejang demam kompleks, yang berlangsung kurang dari
15 menit, fokal, atau multiple (lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam). Kriteria penggolongan tersebut dikemukan
oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan kecil dalam
penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia
penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekam otak dan lainnya.
Prichard dan Mc
Greal membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:
- Kejang
demam sederhana
- Kejang
demam tidak khas
Ciri–ciri kejang demam sederhana ialah :
- Kejangnya
bersifat simetris, artinya akan terlihat lengan dan tungkai kiri yang
kejang sama seperti yang kanan
- Usia
penderita antara 6 bulan - 4 tahun
- Suhu 100F
(37,78C) atau lebih
- Lamanya
kejang berlangsung kurang dari 30 menit
- Keadaan
neurology (fs saraf) normal dan setelah kejang juga tetap normal
- EEG
(electro encephalography – rekaman otak) yang dibuat setelah tidak demam adalah
normal
Kejang demam
yang tidak memenuhi butir tersebut diatas digolongkan sebagai kejang demam tidak khas
Livingston
membagi dalam:
- KD
sederhana
- Epilepsy
yang dicetuskan oleh demam
Ciri-ciri
KD sederhana:
- Kejang
bersifat umum
- Lamanya
kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
- Usia waktu
KD pertama muncul kurang dari 6 tahun
- Frekuensi
serangan 1-4 kali dalam satu tahun
- EEG normal
KD
yang tidak sesuai dengan ciri tersebut diatas digolongkan sebagai epilepsy yang
dicetuskan oleh demam
Fukuyama
juga membagi KD menjadi 2 golongan, yaitu:
- KD
sederhana
- KD
kompleks
Ciri-ciri
KD sederhana menurut Fukuyama:
- Pada
keluarga penderita tidak ada riwayat epilepsy
- Sebelumnya
tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun
- Serangan
KD yang pertama terjadi antara usia 6 bulan - 6 tahun
- Lamanya
kejang berlangsung tidak lebih dari 20menit
- Kejang
tidak bersifat fokal
- Tidak
didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang
- Sebelumnya
juga tidak didapatkan abnormalitas neurologist atau abnormalitas perkembangan
- Kejang
tidak berulang dalam waktu singkat
KD
yang tidak sesuai dengan criteria tersebut diatas digolongkan sebagai KD jenis
kompleks
Sub
Bagian Saraf Anak Bagian IKA FKUI – RSCM Jakarta, menggunakan kriteria
Livingston yang telah dimodifikasi sebagai pedoman untuak membuat diagnosis
kejang demam sederhana, yaitu:
- Umur anak
ketika kejang antara 6 bulan – 6 tahun
- Kejang
berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
- Kejang
bersifat umum
- Kejang
timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam
- Pemeriksaan
saraf sebelum dan sesudah kejang normal
- Pemeriksaan
EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan
kelainan
- Frekuensi
bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali
KD
yang tidak memenuhi kriteria diatas digolongkan sebagai epilepsi yang
diprovokasi oleh demam. Kejang kelompok kedua ini mempunyai suatu
dasar kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan demam hanya
merupakan faktor pencetus.
3. FAKTOR RESIKO
Faktor
resiko pertama yang penting pada kejang demam adalah demam. Selain itu juga
terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam pengawasan
khusus, dan kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33 % anak
akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9 % anak
mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Resiko rekurensi meningkat pada usia
dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperature yang
sangat rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga
epilepsi
4.ETIOLOGI
Penyebab
kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti. Ada beberapa
faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam,yaitu:
- Demamnya sendiri
- Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap
otak
- Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
- Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
- Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang tidak
diketahui atau ensefalopati toksik sepintas
- Gabungan semua faktor diatas
Demam
yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang demam. Anak yang
mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak sedang demam.
Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi pertusis (DPT)
dan morbili (campak).
Dari
penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing pada 297
penderita kejang demam,
66(22,2%) penderita tidak diketahui penyebabnya.Penyebab
utama didasarkan atas bagian tubuh yang terlibat peradangan. Ada penderita yang
mengalami kelainan pada lebih dari satu bagian tubuhnya, misalnya
tonsilo-faringitis dan otrtis media akut
.
5. PATOFISIOLOGI
Meskipun
mekanisme pasti terjadinya kejang tidak diketahui, beberapa faktor fisiologis
dianggap bertanggung jawab atas berkembangnya suatu kejang
Untuk
mempertahankan hidup sel
atau organ otak, diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang
terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen
disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui
sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak
adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan
air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang
terdiri dari permukaan dalam adalah lipid dan permukaan luar adalah ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+)
dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya
kosentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+
menjadi rendah sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat
perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk
menjaga keseimbangan petensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim
Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan petensial membran ini dapat diubah
oleh adanya:
1. Perubahan konsentrasi ion diruang
ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak,
misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya.
3.
Perubahan dari patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan
demam, kenaikan 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%. Jadi pada kenaikan suhu
tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron,
dan dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion kalium listrik. Lepas
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang
berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak
menderita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan ambang kejang
yang rendah, kejang sudah dapat terjadi pada suhu 38oC, sedangkan
pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi pada suhu
40oC atau lebih
Pada kejang
yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet sedangkan otot pernafasan tidak
efisien sehingga tidak sempat bernafas yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnea, hipoglikemia, laktat asidosis disebabkan metabolisme anaerob,
hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh
yang semakin meningkat oleh karena meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otot meningkat.
Faktor
terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan
permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang mengakibatkan kerusakan sel
neuron.
Dari
kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih sering
terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga di dalam penanggulangannya perlu
diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita menjadi kejang.
6.MANIFESTASI KLINIK
Terjadinya kejang pada
kejang demam terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang
bila suhu tubuh mencapai 390C atau lebih (rectal).
Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan tonik klonik.
Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan
disertai kekakuan atau kelemahan,gerakan sentakan berulang tanpa didahului
kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.
Sebagian
besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8% yang
berlangsung lebih dari 15 menit. Sering kali kejang berhenti
sendiri setelah mendapat pertolongan pertama. Setelah kejang berhenti anak
tampak capek, mengantuk, tertidur pulas, dan tidak memberikan reaksi apapun
untuk sejenak atau disebut periode mengantuk singkat pasca kejang, tetapi
setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa
defisit neurologis.
Kejang
demam yang berlangsung lebih lama dari 15 menit sering bersifat fokal atau
unilateral dan kadang-kadang diikuti oleh parese Tood (lumpuh sementara pasca
serangan kejang) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang
unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan
kejang yang berlangsung lama biasanya lebih sering terjadi pada kejang demam
yang pertama.
7.DIAGNOSIS
Diagnosis
kejang demam ditegakkan berdasarkan kriteria Livingston yang telah
dimodifikasi, yang merupakan pedoman yang dipakai oleh Sub Bagian Saraf Anak
IKA FKUI-RSCM Jakarta, yaitu:
1.
Umur anak ketika kejang
antara 6 bulan – 6 tahun
2.
Kejang berlangsung hanya
sebentar saja, tidak lebih dari 15menit
3.
Kejang bersifat umum
4.
Kejang timbul 16 jam
pertama setelah timbulnya demam
5.
Pemeriksaan saraf sebelum dan
sesudah kejang normal
6.
Pemeriksaan EEG yang dibuat
setidaknya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan
7.
Frekuensi bangkitan kejang
dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali
Secara
klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang demam, dengan
adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak didapatkan gejala
neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu. Tetapi perlu
diingat bahwa kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat pula tejadi pada
kelainan lain, misalnya pada radang selaput otak (meningitis) atau radang otak
(ensefalitis)
Pemeriksaan cairan
serebrospinal dapat dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
terutama pada pasien kejang demam yang pertama dan dengan usia kurang dari 1
tahun. Elektroensefalografi (EEG) ternyata kurang mempunyai nilai prognostic,
EEG tidak dapat digunakan untuk memperkirakan kemungkinan terjadinya epilepsy
atau kejang demam berulang dikemudian hari. Saat ini pemeriksaaan EEG
tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana. Pemeriksaan laboratorium
tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi. Pasien
dengan keadaan diare, muntah dan gangguan keseimbangan cairan dapat diduga
terdapat gangguan metabolisme akut, sehingga pemeriksaan elektrolit
diperlukan. Pemeriksaan labratorium lain perlu dilakukan untuk mencari penyebab
timbulnya demam.
8.DIAGNOSIS BANDING
Epilepsi
Meningitis
Ensefalitis
9.PENATALAKSANAAN
Menurut dr. Dwi
P. Widodo, neurolog anak RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam seminar
"Kejang Demam pada Anak" beberapa waktu lalu,
tindakan awal yang mesti dilakukan adalah menempatkan anak pada posisi miring
dan hangat. Setelah air menguap, demam akan turun. Tidak perlu
memasukkan apa pun di antara gigi. Jangan memasukkan sendok atau jari ke dalam
mulut anak untuk mencegah lidahnya tergigit. Hal ini tidak ada gunanya, justru
berbahaya karena gigi dapat patah atau jari luka. Miringkan posisi anak sehingga
ia tidak tersedak air liurnya. Jangan mencoba menahan gerakan anak. Turunkan
demam dengan membuka baju dan menyeka anak dengan air sedikit.
Ada
3 hal yang perlu dikerjakan pada penatalaksanaan kejang demam yaitu:
- Pengobatan
fase akut
- Mencari
dan mengobati penyebab
- Pengobatan
profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan fase akut
Pada
waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan dan
diusahakan jalan nafas harus bebas agar oksigenisasi terjamin. Perhatikan
keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan, dan fungsi
jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan
pemberian antipiretik.
Kejang
demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama pengobatan adalah mencegah
terjadinya peningkatan demam oleh karena itu pemberian obat – obatan
antipiretik sanagt diperlukan. Obat – obat yang dapat digunakan sebagai
antipiretik adalah asetaminofen 10 - 15 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6 jam atau
ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6 jam.
Diazepam
adalah obat yang paling cepat menghentikan kejang. Efek terapeutik diazepam
sangat cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5 menit dan efek toksik yang serius
hampir tidak dijumpai apa bila diberikan secara perlahan dan dosis tidak
melebihi 50 mg persuntikan. Diazepam dapat diberikan secara
intravena dan intrarectal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan
kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. Bila kejang berhenti
sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar dan bila tidak
timbul kejang lagi jarum dicabut.
Pemberian
diazepam secara intravena pada anak yang kejang seringkali menyulitkan, cara
pemberian yang mudah, sederhana dan efektif melalui rektum telah dibuktikan
keampuhannya (Knudsen, 1979; Ismael dkk., 1981; Kaspari dkk., 1981). Pemberian
dilakukan pada anak/bayi dalam posisi miring/ menungging dan dengan rektiol
yang ujungnya diolesi vaselin, dimasukkaniah pipa saluran keluar rektiol ke
rektum sedalam 3 - 5 cm. Kemudian rektiol dipijat hingga kosong betul dan
selanjutnya untuk beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan
kedua muskulus gluteus. Dosis diazepam intrarectal yg dapat digunakan adalah 5
mg (BB<10 kg) atau 10 mg (BB>10 kg). Bila kejang tidak berhenti dapat
diulang selang 5 menit kemudian, bila tidak berhenti juga berikan fenitoin
dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1
mg/kgBB/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan
NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila
kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital yang langsung
diberikan setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan – 1
tahun 50 mg dan 1 tahun keatas 75 mg secara intramuscular. Lalu 4
jam kemudian diberikan fenobarbital dosis rumatan. Untuk 2 hari pertama
diberikan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari
berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama
keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik
peroral. Harus diperhatikan bahwa dosis total tidak boleh melebihi 200 mg/hari
karena efek sampingnya adalah hipotensi, penurunan kesadaran, dan depresi
pernafasan.
Mencari
dan mengobati penyebab
Pemeriksaaan
cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan
dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai
meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam
berlangsung lama.
Pengobatan
profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan
ini dibagi atas 2 bagian, yaitu:
1.Profilaksis
intermiten
Untuk
mencegah terulangnya kejang kembali dikemudian hari, penderita yang menderita
kejang demam sederhana diberikan diazepam secara oral untuk profilaksis
intermiten dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien
demam. Diazepam dapat juga diberikan secara intrarectal tiap 8 jam sebanyak 5
mg (BB<10 kg) dan 10 mg (BB>10kg) setiap pasien menunjukan suhu lebih
dari 38,50C.
Profilaksis
intermiten ini sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk menderita
kejang demam sedarhana sangat kecil, yaitu sampai sekitar umur 4 tahun.
2.Profilaksis
jangka panjang
Profilaksis
jangka panjang berguna untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang
stabil dan cukup didalam darah penderita
untuk mencegah terulangnya kejang demam berat yang
dapat menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah terjadinya
epilepsi dikemudian hari. Profilaksis
terus-menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-5 mg/ kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan
profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir
dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.
Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada
2 kriteria (termasuk poin 1 atau 2) yaitu:
1.
Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan (misalnya serebral palsi atau
mikrosefal, retardasi mental).
2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit,
fokal, atau diikuti kelainan neurologis sementara
atau menetap.
3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang
tua atau saudara kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi
berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam.
Bila hanya
memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada
waktu anak demam dengan diazepam oral alau
rektal tiap 8 jam di samping antipiretik
Dalam penanganan kejang
demam, orang tua harus mengupayakan diri setenang mungkin dalam mengobservasi
anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
- Anak harus dibaringkan di tempat
yang datar dengan posisi menyamping, bukan terlentang, untuk menghindari
bahaya tersedak.
- Jangan meletakkan benda apapun
dalam mulut si anak seperti sendok atau penggaris, karena justru benda
tersebut dapat menyumbat jalan napas.
- Jangan memegangi anak untuk
melawan kejang.
- Sebagian besar kejang berlangsung
singkat dan tidak memerlukan penanganan khusus.
- Jika kejang terus berlanjut selama
10 menit, anak harus segera dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat. Sumber
lain menganjurkan anak untuk dibawa ke fasilitas kesehatan jika kejang
masih berlanjut setelah 5 menit. Ada pula sumber yang menyatakan bahwa
penanganan lebih baik dilakukan secepat mungkin tanpa menyatakan batasan
menit.
- Setelah kejang berakhir (jika <
10 menit), anak perlu dibawa menemui dokter untuk meneliti sumber demam,
terutama jika ada kekakuan leher, muntah-muntah yang berat, atau anak
terus tampak lemas.
Jika anak dibawa ke
fasilitas kesehatan, penanganan yang akan dilakukan selain poin-poin di atas
adalah sebagai berikut :
- Memastikan jalan napas anak tidak
tersumbat
- Pemberian oksigen melalui face
mask
- Pemberian diazepam 0,5 mg/kg berat
badan per rektal (melalui anus) atau jika telah terpasang selang infus 0,2
mg/kg per infus
- Pengawasan tanda-tanda depresi
pernapasan
- Sebagian sumber menganjurkan
pemeriksaan kadar gula darah untuk meneliti kemungkinan hipoglikemia.
Namun sumber lain hanya menganjurkan pemeriksaan ini pada anak yang
mengalami kejang cukup lama atau keadaan pasca kejang (mengantuk, lemas)
yang berkelanjutan.
10. PROGNOSIS
Dengan
penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan tidak perlu
menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang
berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila
melihat pada umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal (1973)
mendapatkan:
- Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita
50% dan pria 33%.
- Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga
adanya
kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang 25%.
Angka
kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian, misalnya
Lumbantobing (1975) pada penelitiannya mendapatkan 6%, sedangkan Living-ston
(1954) mendapatkan dari golongan kejang demam sederhana hanya 2,9% yang menjadi
epilepsi dan dari golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam temyata 97%
yang menjadi epilepsi.
Risiko
yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung
dari faktor:
- Riwayat
penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.
- Kelainan
dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang
demam.
- Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila
terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, maka dikemudian hari
akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya
terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor tersebut di atas, serangan kejang
tanpa demam hanya 2% - 3% saja ("Consensus Statement on Febrile Seizures,
1981") Pada penelitian yang dilakukan oleh The National Collaboratlve
Perinatal Project di Amerika Serikat , dalam hal mana 1.706 anak pasca
kejang demam diikuti perkembangannya sampai usia 7 tahun, tidak
didapatkan kematian sebagai akibat
kejang demam. Anak dengan kejang
demam ini lalu dibandingkan dengan saudara kandungnya yang normal,
terhadap tes iQ dengan menggunakan WISC. Angka rata-rata untuk iQ
total ialah 93 pada anak yang pernah mendapat kejang
demam. Skor ini tidak berbeda bermakna dari saudara kandungnya (kontrol). Anak
yang .sebelum terjadinya kejang demam sudah abnormal atau dicurigai menunjukkan
gejala yang abnormal, rnempunyai skor yang lebih rendah daripada saudara
kandungnya. Hasil yang diperoleh the National Collaborative Perinatal
Project ini hampir serupa dengan yang didapatkan di Inggris oleh The
National Child Development-Study Didapatkan bahwa anak yang pernah
mengaiami KD kinerjanya tidak berbeda dengan populasi umum waktu di tes pada
usia 7 dan 11 tahun.
Pada
penelitian Ellenberg dan Nelson mendapatkan tidak ada perbedaan IQ waktu
diperiksa pada usia 7 tahun antara anak dengan KD dan kembarannya yang tanpa
kejang demam.
Daftar Pustaka